hallobanua.com, Banjarmasin - Tepat Hari Jum'at, 23 Mei 1997 lalu, merupakan sejarah kelam untuk Indonesia, khususnya di Kota Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan.
Betapa tidak, salah satu peristiwa kelam yang tercatat dalam sejarah Indonesia terjadi saat itu yakni kerusuhan Banjarmasin.
Meskipun peristiwa ini tidak banyak dikisahkan seperti halnya kerusuhan Sampit, kerusuhan Poso, atau kerusuhan Mei 1998 Jakarta, namun dampak yang diakibatkannya menjadi salah satu yang terburuk menjelang berakhirnya Orde Baru.
"Ada beberapa istilah penyebutan terhadap peristiwa kerusuhan 23 Mei tahun 1997 di Banjarmasin ini. Sebagian masyarakat ada yang menyebutnya dengan 'Kerusuhan Banjarmasin', 'Amuk Banjarmasin', 'Banjarmasin Membara', dan 'Jumat Membara'. Namun yang lebih populer disebut oleh kalangan masyarakat adalah 'Kerusuhan Jumat Kelabu', lantaran Kerusuhan ini terjadi tepat pada hari Jumat," ungkap Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Mansyur S.Pd, M.Hum.
Kerusuhan Jumat Kelabu itu tentunya banyak menimbulkan kerugian. Kerugian dari segi harta benda, perkantoran, instansi pemerintah, dan yang lainnya.
Setidaknya hal itu berdampak pada sekitar 400 kepala keluarga yang kehilangan tempat berteduh dan sekitar 4.000 karyawan kehilangan pekerjaan.
Tidak hanya itu, korban jiwa juga tidak sedikit telah tercatat meninggal yakni 135 orang, orang hilang 164 orang dan luka-luka kurang lebih 100 orang. Belum termasuk mereka yang ditahan sebanyak 304 orang untuk menunggu proses selanjutnya.
"Banyaknya selisih antara jumlah korban yang meninggal atau korban yang dilaporkan hilang itu terjadi karena korban yang meninggal sebagian besar tidak dapat lagi dikenali karena hangus terbakar," tambahnya.
Mansyur mengungkapkan, Kejadian yang tidak terduga itu bermula dengan kampanye putaran terakhir bagi partai Golkar yang jatuh pada hari Jum’at.
Kerusuhan berawal ketika massa Golkar berpawai menuju tempat kampanye di Lapangan di Jalan Kamboja melewati jalan di depan Masjid Noor yang biasa ditutup, karena digunakan oleh sebagian jemaah sholat yang berada di luar Masjid.
Raungan suara sepeda motor yang melintasi jalan di saat jemaah belum selesai melaksanakan shalat Jumat memicu kemarahan warga.
Warga yang merasa dilecehkan serta merta menyerbu dan mengejar yang berpawai, membubarkan mereka yang berkumpul di lapangan Kamboja dan membakar atribut Golkar.
Peserta kampanye yang mengenakan baju atau kaos kuning, tidak peduli laki-laki atau perempuan, dipaksa melepaskan pakaiannya dibawah ancaman senjata tajam, seperti clurit, golok dan sebagainya.
Sejarawan ULM Mansyur S.Pd, M.Hum
Situasi pun kian memanas. Massa yang melengkapi dirinya dengan senjata tajam mulai bergerak ke pusat kota.
Pergerakan ke pusat kota juga diikuti dengan perusakan bangunan, mobil, dan fasilitas umum yang dilalui massa tak luput dari amukan. Bentrokan fisik pun menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Ruko-ruko dirusak, dan Mitra Plaza dibakar. Aksi penjarahan pun tak terhindarkan.
Listrik yang padam ikut menjadikan suasana kota kian mencekam. Pemandangan Banjarmasin kala itu tampak kacau balau bagai arena peperangan. Selama itu pula pihak keamanan seakan tak berdaya.
Peristiwa 23 Mei 1997 ini sangat menggores perasaan masyarakat Kalimantan Selatan, karena sepanjang pemerintahan Orde Baru tidak pernah terjadi unjuk rasa yang anarkis apalagi sampai meminta korban jiwa manusia.
Kejadian ini semakin melemahkan posisi pemerintahan Orde Baru, karena di beberapa daerah yang selama ini dinilai aman ternyata mengalami kejadian yang luar biasa.
Musuh-musuh Orde Baru menjadikan peristiwa semacam kerusuhan 23 Mei ini sebagai reaksi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat selama ini. Kasus ini sampai sekarang tidak terungkap dengan jelas siapa pelaku yang bertanggung jawab.
"Gejolak-gejolak yang terjadi di Ibu kota Jakarta menjelang kejatuhan pemerintahan Orde Baru diikuti dengan seksama oleh daerah-daerah termasuk Kalimantan Selatan. Spanduk-spanduk yang terbentang di jalanan dan depan Kampus Unlam mendukung gerakan yang dilancarkan komponen mahasiswa Jakarta agar Presiden RI Jenderal Soeharto mengundurkan diri, karena dinilai sudah tidak layak lagi memimpin bangsa Indonesia yang sedang dilanda berbagai krisis," tambah Mansyur
Kejadian yang praktis menarik perhatian nasional dan internasional ini segera terlupakan dan seperti dianggap tidak ada. Hal ini karena pertama, peristiwa itu dianggap sebagai musibah biasa saja. Masih kuatnya represi membuat sebagian besar saksi mata tidak berani buka mulut, bahkan untuk melaporkan anggota keluarga yang hilang pun mereka takut. Lebih-lebih ketika itu ada stigma yang kuat bahwa mereka yang terlibat dalam peristiwa itu adalah 'para perusuh', 'para penjarah/pencuri'.
Besarnya tekanan para demonstran, merebaknya kerusuhan, dan terbentuknya opini yang diciptakan pers yang sangat menyudutkan pemerintah Orde Baru, mengakibatkan Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, dan sejak itu tumbanglah Pemerintahan Orde Baru.
Peristiwa reformasi yang skala dan dampaknya memang lebih besar ini, akhirnya menutup habis ingatan akan peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai daerah, termasuk peristiwa “Jumat Kelabu”, fokus perhatian kemudian beralih ke pentas nasional.
Rian Akhmad/ Yayan



0 Komentar