Ini, Riwayat Asal Muasal Jalan Kayu Tangi

 Bundaran Kayu Tangi

hallobanua.com, Banjarmasin - Kayutangi, 
nama ini begitu lekat dengan jl. Brigjend H. Hassan Basry, jalan poros yang menghubungkan wilayah Banjarmasin bagian utara. 

Area yang menjadi akses yang menghubungkan Banjarmasin dengan wilayah Kabupaten Barito Kuala, maupun menghubungkan dengan akses terjauh, Kalimantan Tengah. 

Pada era kekinian, sangat minim generasi muda yang tahu apa alasan daerah ini bernama Kayutangi. 

Tentunya bukan suatu kebetulan toponim yang diberikan tanpa ada alasan dibaliknya. 

Sejak kapan mulai ada nama Kayutangi dan apa latar belakang nya? 

Menurut penulis, Mansyur, Dosen Prodi Sejarah FKIP ULM,  penamaan Kayutangi sekarang (yang kemudian berganti nama menjadi jl. Brigjend H. Hassan basry disinyalir mulai ada sejak era pembangunan Pelita I tahun 1968-1973. Tepatnya sejak tahun 1970 makin berkembang lagi pembangunan terutama pemukiman dan seiring dengan itu jalan-jalan diperlebar dan diperpanjang arah ke Barito Kuala. 

"Mulai ada penamaan jalan Kayu Tangi yang pada area kiri dan kanannya dibangun pemukiman Kayu tangi I dan II sebagai realisasi dari proyek perumahan rakyat.  Dan, gedung-gedung juga dibangun pada jalan ini seperti gedung Universitas Lambung Mangkurat, Rumah Sakit Jiwa dan SPSA, " ungkap Mansyur. 

Ditambahkannya, sebelum masa kemerdekaan, dari beberapa sumber, misalnya peta 1916, belum ada nama kayutangi, yg ada hanya sungai kidaoeng/kidaung. 

Era itu jalan Kayu Tangi dirancang sebagai jalan terbaru yang tembus ke Kabupaten Barito Kuala. Bangunan-bangunannya pun baru, terutama Perumnas, Kayu Tangi I dan II, Komplek UNLAM, SMPS, SPK, Rumah Sakit Jiwa, Kantor BKKBN Kotamadya Banjarmasin, dan Taman Budaya Propinsi Kalimantan Selatan. 

Masih menurut kajian sejarah yang dihimpun dan  dikumpulkan oleh dosen muda di FKIP ULM ini, untuk nama kayutangi sebenarnya jauh lama sejak abad ke 17, sejak Sultan Tahliullah menjadi Sultan Banjar, jaraknya diperkirakan 80 mil dari Sungai Banjar (Sungai Barito). Lokasi Kayutangi kalau di masa Kesultanan di sebelah barat Martapura. 

Akibat konflik dengan VOC tahun 1612 yang membumi hanguskan Keraton di Kuin, Sultan Mustainbillah terpaksa menyingkir dan memindahkan pusat pemerintahan ke Martapura, tepatnya di Kayu Tangi. 

Alasannya,  tanahnya bertuah, tempatnya jauh di pedalaman, sehingga orang asing sulit untuk menyerang. Sejak permulaan abad ke-17, tepatnya 1623 sejarah Kesultanan Banjar mulai terekam di Martapura dengan dibangunnya ibu kota kerajaan di Kayu Tangi dalam kondisi hubungan antara VOC dan Kesultanan Banjarmasin masih tegang. 

Sungai Martapura sebelumnya namanya adalah Sungai Kayutangi (Kajoe Tangi). Menurut (alm) Yusliani Noor penamaan kayutangi ini karena di sekitar sungai di lokasi Kayutangi dahulu banyak terdapat pohon kayu yang nama kayunya adalah tangi. 

"Karena itu sesuai dengan kebiasaan urang Banjar bahari menamakan tempat dengan vegetasi alam di sekitar sungai itu, sehingga dinamakan wilayah Kayutangi," tutur Mansyur. 

Dijelaskan mantan pekerja media ini, sebenarnya ejaan awal/penulisannya adalah Kayu Tangi. Hanya saja belum ada riset mendalam bagaimana ciri ciri pohon kayu bernama tangi dan apa manfaat pohon ini. Karena itulah, dapat ditarik benang merah bahwa untuk penamaan wilayah Kayutangi sekarang (Jl Brigjend H Hasan Basry) ada dua versi yakni sejak dulu di wilayah ini banyak terdapat kayu (pohon kayu) bernama tangi. 

Kemudian versi kedua penamaan setelah era pembangunan Pelita I tahun 1968-1973. 

Tim Liputan/ may
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar

Hallobanua

Follow Instagram Kami Juga Ya