Sejarah Dibalik Nuansa Mistis Bangunan Eks Pabrik Kertas Martapura

Rombongan Menteri Orde Lama meninjau tempat pabrik kertas (DUVRI) di Martapura yang sedang dibangun dalam rangkaian Konferensi Self Supporting Beras di Banjarmasin, 25 Juli 1961. Koleksi Arsip ANRI. 

hallobanua.com, Banjarmasin - Pabrik kertas (DUVRI) atau Pabrik Kertas Martapura. Begitulah orang mengenalnya. Eks lokasi pabrik kertas ini sekarang berlokasi di Jalan Menteri Empat Martapura, Kabupaten Banjar. 

Dosen Program Studi (prodi) Sejarah di FKIP ULM, Mansyur,  mencoba menggali ulang sejarah pabrik kertas di Martapura, konon menyimpan aroma mistis. 

Dalam ulasan sejarahnya yang dhimpun dari berbagai sumber, Mansyur mengungkapkan, pada area ini berdiri megah gedung baru RSUD Ratu Zalecha Martapura. Walaupun demikian, masih terdapat sisa bangunan pabrik. 

Inilah yang dari beberapa kisah lisan masyarakat dan berita di dunia maya, dipercayai memiliki kisah mistis. Menjadi area kerajaan siluman, dihuni sosok wanita dengan wajah yang sangat menyeramkan dan bisa berubah bentuk menjadi sosok ular. 

Pada lantai pertama diyakini dihuni terdapat sosok siluman dengan tubuh kekar, berkepala hewan. Sementara pada lantai kedua diyakini dihuni siluman bersayap, seperti kelelawar. 

Cerita lainnya beredar bahwa, bangunan tua ini pernah menjadi tempat tumbal. Korbannya adalah perempuan berusia 17 tahun bernama Mariyam yang dikorbankan orangtuanya sendiri. Begitu menyeramkan.   

Wajar jika kesan mistis selalu melekat pada pabrik ini. 

Pun, sejarah panjang mewarnai dinamika pabrik, sejak dirintis masa Jepang, hingga akhirnya menjadi proyek mangkrak dan dilikuidasi pemerintah. Sempat digadang sebagai ikon keberhasilan Orde Baru dan Kalsel khususnya, tapi ternyata bak bunga yang tidak sempat mekar. Mati di tengah jalan.   

Sejak masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945, pihak Angkatan Laut yang berkuasa di Borneo bagian selatan mulai membangun ekonomi perang dengan munculnya cabang-cabang perusahaan Jepang. Bentuknya Kabusiki Kaisha. Satu diantara cabang usahanya adalah usaha yang dikembangkan badan bernama Oji Seizi Kabushiki Kaisha untuk urusan pembuatan kertas. 

Bahkan sebelum di bangun di Martapura, dirintis Pabrik kertas di Sungai Bilu Banjarmasin. Pada masa Jepang, dibentuk sebuah lembaga bernama Halkyu Syo, sebagai perantara yang menjual hasil produksi kertas pabrik-pabrik dan salah satu alat monopoli Jepang untuk mendapatkan keuntungan.
Kertas cukup langka di masa Jepang. Wajar jika Surat Kabar harian Borneo Baru yang dipimpin oleh Andin Boer’ie, berhenti penerbitannya karena kekurangan persediaan kertas. Demikian juga dengan Koran Borneo Simboen hanya diterbitkan dengan ukuran kecil, disesuaikan dengan persediaan kertas yang secara mhusus harus didatangkan dari Tokyo. 

Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu tahun 1945, berlanjut ke masa Orde Lama tahun 1958, menurut Erwan Nurindarto (2010) dalam tulisannya "Membangun Kalimantan Selatan Dalam Lintasan Sejarah" mulai dirintis pendirian Pabrik Kertas Martapura dengan dasar pemikiran dan pertimbangan pendirian pabrik kertas Martapura adalah tak lepas dari pertimbangan secara politis. Bahwa daerah Kalimantan Selatan adalah daerah yang pernah bergolak oleh pemberontakan militer oleh Ibnu Hajar yang cukup legendaris pada kurun waktu tahun 1950 an. 

Karena itulah pemerintah pusat merasa perlu memberikan “sentuhan” pembangunan dengan didirikannya pabrik kertas ini. 


Setting awal pabrik kertas ini didirikan mirip dengan pabrik kertas terdahulu yang ada di Pematang Siantar Sumatera Utara dengan menggunakan kayu pinus merkusii yang banyak terdapat di sekitar danau Toba sebagai bahan bakunya. 

Pembangunan proyek (Pabrik) Kertas Martapura dibiayai Pampasan Perang Jepang sebagaimana termaksud dalam Kontrak antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Nomura Trading Co Ltd tertanggal 30 Januari 1959 dengan supplementnya berupa technical advisor, water purification, additional equipment, sparepart & equipment. Inilah yang menjadi cikal bakal pabrik kertas yang bernama awal DUVRI di Martapura. 

Dari sumber foto Kementerian Penerangan Kalimantan Selatan No. 298, Rombongan Menteri Orde Lama sempat meninjau tempat pabrik kertas (DUVRI) di Martapura yang sedang dibangun dalam rangkaian Konferensi Self Supporting Beras di Banjarmasin, 25 Juli 1961. Dibangun sejak awal tahun 1960, berupa pembangunan pabrik serta instalasi mesin sempat terhenti selama 4 tahun pada masa pemberontakan G 30 S PKI.    

Pada era Orde Baru, tepatnya tahun 1967, dari arsip dokumentasi ANRI, Gubernur Bank Sentral, Ek Radius Prawiro beserta rombongan meninjau Proyek Kertas Martapura. Pimpinan Proyek Kertas memberikan penjelasan terkait pembangunan proyek. 

Sementara Wakil Pimpinan Proyek Kertas Martapura memberikan penjelasan terkait rencana proses produksi. Dilanjutkan peninjauan mesin-mesin yang digunakan dalam Proyek Kertas Martapura. Gubernur Bank Sentral ini sempat berbincang-bincang dengan salah satu pekerja. 

Sebagai kenang-kenangan, Gubernur Bank Sentral berkenan mengisi buku tamu dan menulis kesan-kesan selama meninjau Proyek Kertas Martapura. Sebelum meninggalkan Proyek Kertas Martapura, tuan rumah beserta tamu berfoto bersama di depan gedung Proyek Kertas Martapura. 

Setelah melakukan peninjauan, Gubernur Bank Sentral beserta rombongan bersantap bersama di Guest-House Proyek Kertas Martapura yang diselenggarakan oleh keluarga bank bank pemerintah di Martapura. 

Akhirnya pabrik ini selesai dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 1970. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1974, tentang pendirian Perusahaan Umum Kertas Martapura, pabrik kertas (DUVRI) di Martapura dilebur dan dijadikan unit produksi Perum Kertas Martapura. Peraturan ini ditetapkan di Jakarta, pada 6 Pebruari 1974 oleh Presiden Soeharto serta ditandatangani Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono. 

Perusahaan kertas ini melakukan kegiatan-kegiatan produksi dalam sektor industri pulp dan kertas. Berupa produksi pulp dan kertas, barang-barang dan alat-alat yang mempergunakan bahan pulp dan kertas, serta segala macam hasil pengolahannya. 

Kemudian memberi jasa dalam bidang penelitian, perbaikan dan pemeliharaan yang berhubungan dengan industri pulp dan kertas. Selanjutnya, jasa teknis lainnya yang berhubungan pembangunan proyek-proyek dalam sektor industri pulp dan kertas. 

Erwan Nurindarto (2010) juga menuliskan, dalam perkembangannya operasional pabrik kertas ini tidak cukup menggembirakan. Persoalan utamanya adalah lokasi pabrik yang tidak tepat sehingga suplai baik bahan baku berupa kayu ataupun bahan-bahan prosesing lain sering tersendat. Hal ini bisa dipahami karena pada masa itu kondisi infrastruktur jalan dan pelabuhan belum cukup memadai. 


Pada awalnya sumber bahan baku kertas berupa kayu, digunakan kayu yang serat kayunya mirip dengan Pinus yaitu jenis agathis yang disuplai dari Buntok, daerah Hulu Sungai Barito yang pada saat itu masih masuk wilayah Kalimantan Selatan. Pada wilayah Buntok pula saat itu bibit-bibit pinus merkusii mulai ditanami guna keperluan  suplai bahan baku selanjutnya. Pernah pula dilakukan suplai kayu agathis untuk pabrik kertas ini oleh PT. Sampit Dayak, sebuah perusahaan patungan swasta dan BPU Perhutani yang telah mengambil alih NV Bruinzeel Dayak Houtbedrijven (BDH) sebuah perusahaan konsesi kayu milik Belanda yang telah beroperasi sejak tahun 1948 di Sampit Kalimantan Tengah. 

Jika menilik dari kondisi fisik populasi pohon-pohon pinus yang ada  sekarang di kawasan Mentaos Banjarbaru, maka hampir dapat dipastikan bahwa populasi pohon pinus tersebut adalah peninggalan proyek pabrik kertas Martapura. 

Senada keterangan lisan masyarakat di Banjarbaru, hutan Pinus Mentaos I di Jl.Suriansyah Ujung Kelurahan Mentaos, Banjarbaru Utara, bibit kayu pinus ini dulunya dibawa ke Martapura untuk pengolahan kertas. Penanaman pohon pinus ini dilakukan sejak tahun 1960-an, bibitnya waktu itu didatangkan langsung dari pulau Jawa karena pohon pinus kala itu belum ada di Kalimantan. 

Erwan Nurindarto (2010) memaparkan, sengketa administratif wilayah Buntok yang kemudian masuk menjadi wilayah Kalimantan Tengah telah menimbulkan persoalan baru terhadap suplai bahan baku, sehingga perlu inovasi dalam mengatasi masalah bahan baku ini. 

Ternyata para manajer pabrik kertas ini cukup jeli dan cerdik sehingga sebagai gantinya dipakailah batang-batang kayu karet tua yang akan diremajakan dari ribuan hektar areal Perusahaan Perkebunan Negara Danau Salak sebagai bahan baku pengganti. Konsekuensinya, kapasitas produksinya menjadi jauh menurun hanya 5 ton per hari dan mutu kertasnya juga lebih rendah. 

Dinamika ini terjadi pada sekitar tahun 1972, dan pada saat itu tercatat ada sekitar 150 orang karyawan yang bekerja pada pabrik kertas ini. 

Meskipun dinilai merugi dengan biaya operasional yang tinggi dengan tingkat produksi yang rendah, pabrik kertas ini masih dapat beroperasi karena mendapatkan sokongan dana pemerintah melalui anggaran Pembangunan Lima Tahun (Pelita).   

Keadaan menjadi semakin buruk terjadi sekitar tahun 1976, pada saat itu pabrik kertas ini total berhenti beroperasi dengan tetap menggaji 227 orang karyawannya sambil menunggu penyelesaian selanjutnya. PT. Goenawan dari Surabaya sebagai investor dalam negeri pada tahun 1978. Investor lain pernah disebut-sebut akan membeli perusahaan ini, sedangkan PT. Goenawan sendiri adalah pemegang pemasaran dari produk pabrik kertas ini berupa kertas HVS, duplikator (kertas buram) serta kertas pembungkus. 

Keresahan pun terjadi diantara para karyawan pabrik kertas ini jika kepemilikan perusahaan beralih. Mayoritas karyawan mengharapkan agar perumahan yang berjumlah 120 unit yang mereka tempati saat itu dapat mereka beli dengan uang pesangon mereka. Hingga pada puncaknya setelah menimbang secara teknis dan ekonomis bahwa perusahaan pabrik kertas ini tidak dapat dipertahankan lagi. 

Pemerintah pun mengambil keputusan untuk membubarkan perusahaan ini melalui Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1978 tanggal 23 September 1978 tentang Pembubaran Perusahaan Umum Kertas Martapura, dan dengan demikian semua aset dan kekayaan perusahaan tersebut diambil kembali oleh negara. Kini pada lokasi eks Pabrik Kertas Martapura tersebut telah berdiri megah bangunan lain, Rumah Sakit Umum Daerah Ratu Zalecha Martapura. 

Mansyur dan berbagai sumber/ may 

  

 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar

Hallobanua

Follow Instagram Kami Juga Ya