hallobanua.com, BANJARMASIN - Tak hanya ulama dan pemerintah yang angkat bicara terkait perdebatan antara pemilik rumah makan non halal dengan Satpol PP Banjarmasin saat melakukan razia rumah makan pada kamis (07/04/22) lalu
Insiden adu mulut tersebut juga membuat, Antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Nasrullah, juga ikut berkomentar.
Menurutnya, Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 terkait kegiatan Ramadan itu, telah sesuai dijalankan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin melalui Satpol PP Banajarmasin.
Insiden perdebatan terjadi karena banyaknya personel Satpol PP yang dikerahkan saat razia.
"Namun hal itu wajar, karena jumlah orangnya banyak mungkin agak shock pemilik depot," ungkapnya melalui sambungan telepon, Sabtu (09/04/22).
"Tapi disatu sisi Satpol PP juga perlu mengerahkan jumlah banyak untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan," lanjutnya.
Tidak hanya itu, menurutnya perdebatan itu terjadi dikarenakan pemilik depot merasa sebagai pihak yang berbeda dengan pemilik warung penyedia makanan kebanyakan orang di Banjarmasin.
"Sehingga karena merasa berbeda itu, ia menganggap ada punya keluesan melakukan aktivitas yang tidak dibolehkan dalam perda, terutama membuka warung makanan pada waktu tertentu. Ia mempunyai argumen pribadi bahwa hal itu boleh dilakukan," ujarnya.
Disamping itu, menurut Nasrullah, Perda Ramadan yang masih dipakai Pemko Banjarmasin ini hanya diberlakukan diwilayah administrasi Kota Banjarmasin.
Sehingga, seyogyanya aturan yang termaktub didalamnya harus diikuti dan ditaati seluruh lapisan masyarakat di Banjarmasin. Termasuk yang pengelola rumah makan.
"Artinya siapa masuk dalam kota itu maka aturan itulah yabg diberlalukan dan harus ditaati," katanya.
Kemudian, menurut hematnya, Perda ramadan yang ada sekarang ini berlaku tujuannya memang untuk mengurangi waktu oprasional rumah makan, namun tidak mematikan usaha masyarakat.
"Artinya itu tidaklah mematikan usaha masyarakat saat berjualan. Dan siapapun pengusaha seharusnya membaca karakterisrik daerah dimana dia berusaha," tuturnya.
Terkait debat yang sempat viral di dunia maya tersebut, kata dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat itu, tentunya masyarakat harus lebih hati-hati merespon hal tersebut.
"Seperti dengan isu mayoritas, minoritas. Atau dengan isu halal dan non halal. Karena itu akan menyebabkan dampak yang tidak diinginkan. Sehingga sebaiknya fokus dengan isi perda dan bagaimana penerapannya," jelasnya.
Selain itu, dari perdebatan yang viral tersebut, tentunya memancing asumsi netizen dikolom komentar sosial media.
Bahkan ada bermunculan asumsi liar adanya backingan atau pungli yang dilakukan oleh oknum Satpol PP kepada pengusaha rumah makan agar bisa buka.
Terkait hal itu, Nasrullah menilai bahwa netizen memang memiliki kebebasan untuk berpendapat di medsos, dan hal itu hanyalah asumsi liar.
"Itu sebenarnya persoalan berbeda dan kita tidak punya bukti kesitu. Karena itu hanya di dunia maya mereka bisa mengucapkan apa saja, bahkan lebih dari itu bisa diucapkan," imbuhnya.
Nasrullah pun berharap, agar netizen didunia maya lebih cerdas dan lebih melek informasi. Jangan sampai langsung membanding-bandingkan aturan di Kota Seribu Sungai dengan aturan di kota lain.
"Jangan sampai kita kurang referensi dalam memahami satu peristiwa. Dan mampu melihat informasi yang berimbang kemudian tidak serta merta terjebak salam histeria massa. Karena memang pemerintah kota harus tegas menjalankan perda itu," pungkasnya.
Penulis : rian akhmad/ may
Kota bjm



0 Komentar